April 1, 2014
Ia mengibaratkan diri sebagai elang hitam yang menempuh ribuan pelajaran kehidupan demi meraih kemashuran.
Senja itu Basuki Tjahaja Purnama membiarkan pikirannya mengelana melompati masa. “Bapakku mimpi aku jadi presiden.”
Ia mengawali pembicaraan dengan hal yang agak mengejutkan. Nada suaranya kalem. Tak biasanya Ahok, sapa akrab Wakil Gubernur DKI Jakarta, bercerita tentang ambisinya. Di tengah deru wacana Calon Presiden memenuhi pemberitaan di Indonesia, ia lebih banyak fokus pada berbagai rencana dan kerja yang sedang dilakoni. Itu saja. Namun mungkin hari itu sedang tak biasa. Seluruh pekerjaan rutin di kantor sebelum pulang telah diselesaikan: membaca laporan bertumpuk-tumpuk, memberi tanda, dan akhirnya seluruh berkas dibersihkan dari meja.
Di ruang kerjanya siaran televisi menyiarkan pemberitaan dirinya siang tadi. Matanya berbinar-binar, tanda senang. Nada suaranya terdengar antusias dan penuh semangat. Senyumnya mengembang mengenang segala pengalaman. “Dulu aku ditantang istri, meski sekadar pembicaraan sambil lalu. Kalau kamu mau jadi presiden, kamu harus jadi gubernur DKI dulu,” ia tertawa seolah meraih kemenangan. Pipinya yang bersih tampak berkilauan tertimpa cahaya.
Ia termasuk tipe orang yang tak bisa ditantang. Semakin ditantang, semakin ditekan, semakin ada keinginan untuk menaklukkan. Setidaknya sejarah kehidupan yang kemudian diungkap membuktikan kebenarannya. Posisinya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta pun sudah melampaui batas mimpinya sebagai warga keturunan, non-muslim, dan berasal dari kampung di sebuah pulau kecil di wilayah Bangka Belitung. “Aku sangat percaya pada mukjizat,” kata-katanya tegas meluncur kemudian.
Empatpuluh tujuh tahun lalu di Belitung TImur, Ahok dilahirkan tanpa nama ayah di surat lahirnya. Ia diberi nama Zhong Wanxie, artinya ribuan kali belajar. Saat itu, pernikahan orangtuanya belum didaftarkan karena berbagai pertimbangan, terutama pada perbedaan status ekonomi dan sosial yang timpang. “Di situ Bapakku tidak bersurat nikah supaya harta nggak dibagi,” tuturnya spontan. Beberapa tahun kemudian ia baru diakui. “Keluarga (Bapak) takut anak-anaknya dibawa pergi,” suaranya datar. Sejarah itu mengawali kehidupannya, sulung dari 4 bersaudara.
Ayahnya pengusaha tambang dan pemborong, mapan, dan dikenal berjiwa sosial di wilayahnya. “Kalau ada orang minta bantuan pasti dibantu. Bahkan ketika tak punya uang, dibela-belain pinjam uang demi membantu orang sakit,” ia mengisahkan. Sementara ibunya seorang ibu rumahtangga yang bekerjakeras menabung hingga kelak memiliki usaha apotik. Banyak momen dalam relasi ayah ibunya membentuk karakternya kini. “Tapi ibu yang paling memengaruhi aku.”
Suasana perkampungan, lagu Rhoma Irama, dan para peramal nasib dari klenteng, adalah lingkungan masa kecilnya. Meski ayahnya beragama Budha, ketua klenteng, ia pernah disekolahkan di SD Muhammadiyah. “Bisa dibayangkan, Belitung (kota) kecil, tapi bisa sekolahin anaknya ke Swiss. Tiap tahun menjamu pegawai. Dulu kita ke tambang pakai sepatu Bally,” ungkapnya tanpa bermaksud sombong. Cita-cita terbesarnya menjadi Kawilasi (Kepala Wilayah Produksi) perusahaan tambang. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di jurusan Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Trisakti Jakarta. Jarak menuju cita-citanya kian dekat.
Lulus kuliah ia membantu ayahnya di tambang. Namun dunia kerja, terutama di dunia tambang amatlah kompleks. Tidak sekadar bicara angka, tapi juga lobi politik dan kekuasaan. Ia merasa perlu belajar menajemen professional. Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, Jakarta, ia bekerja sebagai staf direksi analisa biaya dan keuangan proyek di sebuah perusahaan swasta untuk memperkaya pengalamannya. Dari Jakarta ia tetap mengatur pabriknya. Situasi ini berlangsung aman sampai pada satu titip pabriknya ditutup karena ia takmau berdamai dengan kekuasaan yang korup. Keadaan ini memicu amarah yang selama ini ditahan.
“Rasanya aku sudah mau pukul pejabat. Aku pikir sudah nggak ada harapan.” Untuk mengubah keadaan, ia harus masuk sistem pemerintahan.
Keputusan masuk politik adalah peralihan besar kehidupannya. Ia tinggalkan zona nyaman sebagai pengusaha dan Ketua Majelis Gereja menuju dunia politik – yang dalam pengalamannya masa itu – tidak mengenal halal-haram demi raih tujuan. Dari Jakarta ia kembali ke kampungnya. Pada saat bersamaan, Dr Sjahrir, mengajaknya masuk politik. Ia menjadi Ketua Partai Indonesia Baru (PIB) Belitung Timur dan berhasil masuk sebagai anggota DPRD setempat. “Waktu itu aku frustasi setelah ayah meninggal. Aku tak bisa menolong orang miskin terlalu banyak. Program jaminan social harus diwujudkan. Waktu maju aku hanya berpikir sederhana, bikin jaminan kesehatan dan pendidikan supaya orang taklagi datang ke rumah minta duit.”
Istilah terjun dalam politik mungkin paling tepat. Dunia ini takbisa dengan mudah ditebak. Satu langkah terlampaui ternyata ada ribuan langkah yang harus dijejaki. Itulah yang terasakan. Masuk menjadi angota DPRD ternyata masih belum bisa memperjuangkan jaminan sosial dan pendidikan yang diusungnya. Apalagi ia hanya satu suara. Satu-satunya jalan adalah menjadi bupati. Tujuh bulan kemudian ia berhasil menjadi bupati di daerah mayoritas muslim dan untuk pertama kalinya daerah itu berhasil menjalankan program asuransi kesehatan dan pendidikan, seperti keinginannya! “Waktu itu dibilang tak mungkin menang, tapi aku nekat.”
Kenekatan ini kembali menggoda. Ia ingin membawa idealismenya ke level lebih tinggi. Peluang menjadi gubernur Bangka Belitung tak disia-siakan. Sayang ia gagal, sementara jabatan Bupati telah ditinggalkan. Investasi pribadi pun telah banyak dijual untuk masuk politik. Itulah pelajaran terbesarnya Tak ada pilihan kecuali kembali bekerja di perusahaan swasta. Ia tak merasa malu. Jangan ditanya tentang perasaannya. Situasi politik telah membuatnya apolitik. Namun keinginan untuk melayani masyarakat terus mengganggui. Ia bangkit lagi melalui dengan segala upaya: calon gubernur Sumatera Utara, Anggota DPR RI wakil Bangka Belitung, calon gubernur independen di DKI. Kadang berhasil, kadang gagal, itu biasa.
Itulah petualangan politiknya. Ada yang mengatakannya sebagai kutu loncat yang ambisius, tapi masyarakat juga mencatatnya sebagai sosok yang bersih dan menbawa harapan. Ia membawa cara baru berkampanye dengan bermodal kartu nama. Ia memelopori transparansi pada masyarakat dengan cara menyajikan seluruh laporan aktivitas dan keuangannya di website sejak menjadi anggota DPR RI. Ia berani menantang pejabat lain untuk diperiksa asal harta kekayaannya. Beberapa penghargaan sebagai Tokoh Anti Korupsi pun pernah diterima.
“Aku kerjakan apapun sebagai pejabat untuk kesejahteraan di mana aku tinggal, karena kesejahteraan mereka adalah kesejahteraanku. Ketika orang udah nggak percaya ada pejabat jujur dan melayani, aku tunjukin, ada nih yang nggak nilep duit, ” tuturnya berapi-api. Ia juga mengaku harus berhati-hati dalam bergaul. “Dalam dunia politik, aku berusaha supaya tidak tertular gaya hidup hedonis,” ucap Ahok yang percaya bahwa pengaruh pergaulan buruk bisa mengubah kebiasaan baik.
Sebagai politisi ia bisa dikatakan sebagai pejuang gigih. Gayanya dikenal keras, tapi pikiran, hati, mulut, dan tindakan sama. Segala keputusan diambil karena keyakinan hati. Kalau sudah ada kemauan pasti akan habis-habisan. Apapun jalannya, termasuk berpindah partai ditempuh lebih pada tujuan pragmatis: melayani masyarakat. Semakin ditekan semakin ia perjuangkan apa yang dianggapnya benar. Bila ternyata menemukan dirinya salah maka segala pengalaman itu ia jadikan sebagai pelajaran. “Orang lihat aku easy going, padahal aku tidak tiba-tiba berada di sini. Aku sudah kenyang hadapi rasisme, dianggap kafir, mengalami berbagai hal yang nggak masuk akal, disalahpahamin orang,” ucapnya, kali ini dengan nada lebih tinggi.
“Aku suka elang. Filosofinya banyak. Kalau mengajar anaknya terbang, ia bawa ke tempat tinggi untuk dijatuhkan. Itu sebabnya aku lebih suka dipanggil Hok, kesannya kan seperti Hawk,” ia menuturkan. Ketika elang sakit dan harus ganti paruh, ia sembunyi untuk siapkan kekuatan hingga tumbuh paruh baru. Situasi ini persis dengan dirinya. Perjalanan kehidupannya seperti filosofi elang hitam. Seluruh luka ia ungkapkan dengan ringan kini. “Prinsipku, kesusahan sehari biarlah untuk sehari.”
Gubernur DKI Joko Widodo mengomentasi wakilnya itu dengan singkat, “Cerdas, cepet, dan ceplas ceplos.” Ritme kerjanya cepat, seperti nada bicaranya. “Bicaranya cepet tek tek tek, menjelaskan sebuah masalah itu cepat sekali. Kalau pas bener ya bagus, artinya semua bisa diselesaikan dengan cepet. Kalo pas nggak bener, nggak didetilin, akan bahaya,” ujar Jokowi dengan logat Jawa yang sangat kental dan bicara pelan-pelan sungguh terasa kontras, namun jadi saling melengkapi.
Gaya bicara Ahok yang acap meledak-ledak ini juga menjadi perhatian Jokowi. “Berbicaranya lepas dan rem-nya kadang bisa kadang tidak. Nah, kalau pas enggak itu lo.. ha ha ha.. tapi apapun sangat baik.” Menurut Jokowi, Ahok tidak akan meledak-ledak apabila bicara dengan data dan menyampaikan sesuatu yang masuk akal. Sementara itu Veronika Tan, istrinya, punya resep lain. “Dia harus selalu kenyang. Kalau lapar suka marah. Segala sesuatu harus beres. Kalau dia sedang marah, lebih baik menyingkir.” Segala hal yang membuatnya marah adalah orang yang bertele-tele. Terlalu banyak dikritik juga membuatnya jengah.
Ahok tersenyum mendengar pandangan orang tentang dirinya. “Aku tipe orang ekstrovert dan choleric,” ungkapnya tegas. Mungkin ia contoh choleric yang pas: penuh semangat, bertindak cepat, aktif, berkemauan keras, cenderung tidak bergantung pada orang lain. Ia tidak mudah terombang-ambing oleh apa yang dipikirkan orang lain, cenderung melihat sasaran yang ingin dicapai. Sekali punya target, ia tak akan berhenti mengejarnya.
Apakah demikian juga dalam cinta? Ia tergagap lalu menjawab cepat, “Aku ada masalah dengan perempuan. Kalau terlalu cepat dapat langsung takut, jangan-jangan dia juga sama cowok lain. Kalau dapatnya terlalu lama aku merasa ih kecakepan.” Setelah berpikir sejenak, ia berkata, “Cinta itu.. nggak ngerti aku. Cinta yang bener harus bisa terima apa adanya dan yang penting membuat dia bahagia.” Ahok menikahi Veronika, perempuan yang ditemuinya di gereja. “Aku jatuh cinta karena melihat betisnya,” ia tertawa. Menurut ibunya, perempuan yang bawa hoki adalah perempuan dengan betis berisi.
Andai disingkat, dunia politik Ahok hanya bersandar pada 3 momen kehidupan yang diterakan pada nama anak-anaknya. Nicholas, anak sulungnya, lahir 1998, berarti victory over people’s heart. “Semua anjurkan pindah ke luar negeri, saya putuskan tetap tinggal dan menangkan hati rakyat yang sebagian menganggap kami penumpang di negeri ini,” ia utarakan perasaannya. Lalu ketika ia berada pada situasi di mana dalam politik yang menggunakan uang dan segala cara, ia mengalami kesulitas mewujudkan keadilan, Tuhan membantunya. Nathania – nama anak perempuannya –artinya with God’s help we win – lahir 2001. Sementara ketika ia berhasil menjadi Bupati Belitung, ia terinspirasi kisah Daud – yang menjadi nama anak bungsunya tahun 2006. “Engkau angkat aku jadi raja padahal hanya seorang pengembara domba dan tidak terpilih jadi prajurit seperti saudara lainnya.”
Binar-binar bahagia terasakan padanya “Aku mensyukuri apa yang kujalani. Kalau dilihat dari wajahku pasti aku happy karena kini aku bisa ngurusin orang banyak.” Jaminan sosial dan pendidikan sudah diterapkan di ibu kota negara ini. “Aku ini chasing Cina, tapi cara berpikirku Calvinis,” ia tersenyum. Jadi apa cita-citanya sekarang?
“Pingin jadi presiden,” ia menjawab dengan tenang. Ketenangan yang dibiarkan mengalir bersama malam. Mimpi ayahnya kembali dikenang. (Rustika Herlambang)
Photography by: Indra Leonardi – The Leonardi for Dewi Magazine
Make up by: Arlene
Fashion Stylist: Muntik Dyah Chaerunisa, Rhino Madewa
Wardrobe: Lanvin
Location: Balai Kota Building